Artikel yang sedang dibaca: Dunia Pendidikan Kristen

5/13/2010

Dunia Pendidikan Kristen

Memang sebagaimana kita ketahui bersama, rangking Indonesia dalam Human Development Index (HDI) 1996 adalah 102 dari 174 negara, tidak ada perubahan yang berarti dari tahun-tahun sebelumnya (HDI ini cukup valid dijadikan alat ukur kualitas SDM kita karena dua komponennya adalah tingkat melek huruf dan lama mengenyam pendidikan, di samping tingkat harapan hidup dan paritas daya beli). Komitmen pemerintah dalam peningkatan SDM melalui pendidikan memang belum setinggi yang diharapkan. Ini terlihat dari alokasi dana pendidikan yang hanya sebesar 5% (bandingkan dengan Malaysia sebesar 13%) dari APBN. Padahal hampir di semua sektor (industri, usaha kecil, medis, konsultasi, keuangan, pariwisata, dst...) dikeluhkan kurangnya SDM yang bermutu.


Yang memprihatinkan adalah kualitas SDM Kristen secara nasional berada di bawah rata-rata. Hal ini tentunya dapat kita pahami tatkala kita melihat bahwa peta kemiskinan Indonesia ada pada daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama kristen seperti Irian, Tapanuli, dll. SDM Kristen Indonesia sekarang ini sedang kelabakan. Bagaimana tidak? Lha wong SDM Kristen ini mendapat tantangan dobel. Yang pertama datang dari luar negeri, yaitu dampak era keterbukaan yang penuh persaingan ketat dengan tuntutan profesionalisme di berbagai bidang. Yang kedua, dan mungkin lebih trivial, datang dari dalam negeri, yaitu sistem dan mekanisme yang diciptakan sedemikian rupa oleh kelompok-kelompok tertentu, atau yang biasa disebut dengan proporsionalisme, sehingga kurang menguntungkan bagi umat Kristen.

Yang saya coba uraikan di sini adalah peranan gereja, bukan PT, dalam pembinaan SDM Kristen. Pertanyaan logis selanjutnya adalah apakah peran yang sudah dimainkan gereja dalam mempersiapkan SDM Kristen yang handal? Seorang pengarang Kristen mengkritik bahwa gereja terlalu banyak menekankan aspek "pengetahuan" (wawasan teologis, bukan non-teologis) sehingga kedua aspek lain, "karakter" dan apalagi, "kemampuan" kurang mendapat perhatian. Tekanan pada pengetahuan rohani ini memang esensial, tetapi tidak cukup. Agar dapat melahirkan seroang pribadi Kristen yang cakap dan mampu berkarya di pos-pos penting, seperti yang ditulis dalam Amsal 22:29, diperlukan aspek-aspek lain seperti karakter (rela berkorban, tekun, disiplin sebagaimana seorang prajurit, atlit, dan petani), kemampuan (berorganisasi, kepemimpinan, team-work, membuat keputusan, dst...), serta wawasan non-teologis (ipoleksosbudhuk). Yang terakhir ini penting untuk menolong umat dalam pengaplikasian iman dan "teologia" yang dipelajarinya dalam kehidupan riil. Wawasan non-teologis inilah yang akan menghindarkan terjadinya shock-shock yang tidak perlu (shock ini biasanya terjadi tatkala seorang Kristen dengan pengertian teologinya berhadapan dengan situasi yang pelik dan dilematis yang seringkali memaksa dia untuk mengkompromikan imannya) dan membekali umat untuk semakin mandiri.

Apa yang sudah dilakukan gereja?

Itu pertanyaannya. Kalau tahu pemerintah mengalokasikan dana yang terbatas dan apalagi, umat Kristen hanya "kecipratan" sedikit, bukankah lebih bijaksana apabila gereja juga memikirkan untuk investasi lebih serius lagi dalam pendidikan sdm yang lebih integratif? 

Lebih konkritnya begini. Misalnya, sebuah gereja dengan jemaat yang mayoritas terjun sebagai praktisi di dunia usaha mungkin dapat membuka misalnya kelas "etika bisnis" di mana ada titik temu, atau tubrukan, antara dasar-dasar firman Allah dengan praktek-praktek bisnis. Dalam kelas semacam ini segala tubrukan-tubrukan yang terjadi akan digumuli bersama tanpa ada rasa sungkan atau minder. Dalam kelas semacam ini peluang terciptanya integrasi antara pengetahuan (doktrin), karakter, dan kemampuan akan sangat tinggi. Sedangkan "output" nya jelas, yakni usahawan Kristen yang bukan hanya pandai berteori tentangg prinsip bisnis Kristen, tetapi yang tahu dan siap menyikapi berbagai permasalahan bisnis yang muncul dalam realita sehari-hari. Daripada membuka kelas-kelas doktrin Allah, doktrin Alkitab, dlsb yang selain sudah banyak dilakukan oleh lembaga lain yang lebih solid, juga pada umumnya kurang ada "greget" nya.  


Tapi yang kayak di atas tidak mudah dilakukan. Butuh kerelaan dari para kalangan elite rohaniawan di gereja untuk mau bermitra dengan orang awam yang bukan hamba Tuhan untuk men-design kurikulum dan mengajar. Saya tidak sedang mempromosikan liberalisme. Tetapi kemitraan ini perlu dalam rangka mencoba menolong jemaat untuk memiliki "Christian World View" yang solid dan mengaplikasikan firman Allah dalam berbagai bidang kehidupan. Seorang pendeta dari Presbyterian Church di Seattle yang cukup dikenal di Amerika, Earl Palmer, membuka kelas tentang Alkitab dan ilmu pengetahuan di mana pengajarnya adalah dia sendiri dan seorang profesor bioengineering Univ of Washington yang juga seorang anak Tuhan. Yang datang, full house, sampai harus diadakan di sanctuary-nya. Ini menarik. Dan tidak perlu takut ada hal-hal yang sesat, sekuler, dsb. karena check and balance bisa dilakukan di sini antar pendeta dan ilmuwan.

Jadi menurut saya, gereja harus berani melakukan terobosan-terobosan dalam pendidikan SDM Kristen. Kalau tidak, sebagaimana seperti gereja-gereja di Eropa, orang akan semakin meninggalkan gereja karena mereka menganggap ajaran gereja tidak lagi relevan dengan kehidupan riil. Kalau tidak apa yang dikuatirkan Prof. Tilaar di bawah tentang adanya saingan dari kelompok lain akan terjadi. Dan lalu di mana garam orang Kristen? Apa hanya di dapur jadi garam Inggris?